Minggu, 25 November 2018

Cerpen-Raja Mie Instan

 Raja Mie Instan

Karya: Erik Aditya. A

Pernahkah kalian berpikir, Apakah sebungkus mie instan bisa membuat seseorang bahagia? Mungkin tidak. Tentu saja. Itu adalah pertanyaan paling tidak umum yang pernah kalian dengar. Tapi mari kita perhatikan kembali pertanyaan itu …
“Apakah sebungkus mie instan bisa membuat seseorang bahagia?” Apa jawabannya? Bagaimana menurutmu?”
Bagiku ... jawabannya adalah ya. Sebungkus mie instan bisa membuat seseorang bahagia. Terutama diriku, karena aku suka mie instan. Bagaimana tidak, itu adalah makanan terenak di sekolah ini, atau lebih tepatnya di pesantren ini. Tapi semua berubah ketika ia datang dan mengubah seluruh padanganku.
“Reza ... Reza.. Oi Reza...,“
“Apaan!!” Teriakku kesal.
“Ehehe ... Jadi gini, kamu tau kan uangku bulan ini lagi tipis banget. Jadi boleh minta sebungkus mie instan gak?” Katanya sambil menggosok-gosokan tangan.
“Gak!! Mie instanku tinggal dikit. Nanti kalau habis aku makan apa?”
“Yah, pelit betul. Kalau habis ya tinggal makan di kantin aja, di sana ‘kan bisa makan gratis kalau ikutan bantu-bantu.” kata temanku cemberut.
“Nah tuh ... Ke kantin sana bantu-bantu!!”
“Tapi kan ... Jam makannya masih dua jam lagi, aku ‘kan laparnya sekarang.” katanya dengan wajah memelas.
“Huuh ... Ya udah, gak ada pilihan lain.” aku mengambil sebungkus mie instan dari dalam kardus.
“Nih..,” kataku menyerahkan mie andalanku itu.
“Yeay.. Reza baik banget..” teriaknya senang.
Belum lagi dia sampai meraih sebungkus mie itu dari tanganku, aku langsung menjauhkannya kembali.
“Marebu dulu..”
“Heeh!! Lima Ribu!! Di toko lo cuman 2.500. Kok bisa-bisanya naik dua kali lipat?!”
“Kalau gak mau ya gak masalah. Saya kan juga gak rugi.” kataku sambil tersenyum jahat.
Dia menatap lantai dengan sedih. “Hmm.. Yaudah deh gak ja-“
“Nih...,” aku langsung melempar mie instan itu dari tanganku.
"Happ..," Dia menangkapnya dengan sempurna.
“Yeay makasih Reza..” Dia tersenyum senang ke arahku.
“Yah, sama sama. Udah sana makan. Aku mau nyelesaikan PR tadi siang.”
“Ehehe ... Nanti aku nyontek ya..”
“Kembalikan mie instanku!!”
“Ahahaha ... yayaya ... Canda doang. Yaudah aku mau ngerebus mie dulu..” katanya sambil keluar dari kamar.
Wahyu selalu boros seperti biasa. Jadi susah gini-kan akhirnya. Kalau nyusahin diri sendiri ya gak masalah, tapi jangan bawa-bawa aku juga. Aku kan udah ngehemat sedemikian rupa biar anggaranku tiap bulan gak minus.
Yah ... tapi apa boleh buat. Aku punya prinsip dari orang itu. Orang yang kutemui di SMP dulu. Orang yang membuatku masuk pesantren sejak awal. Namanya adalah Farhan dan untuk suatu alasan, aku tidak bisa menghubungi Farhan lagi, dan mungkin untuk selamanya. Tapi ajarannya yang eksentrik itu pasti akan selalu membekas dalam hatiku.
Dan ajarannya yang paling kuingat adalah tentang membantu sesama manusia. Dia pernah berkata demikian.
“Memberi tidak akan membuatmu miskin. Melainkan tabungan untuk masa depan. Percayalah, kebaikan selalu akan berbuah manis. Tapi kalau tidak iklhas dan bersyukur, maka percuma saja.” Kata-kata itulah yang menjadi peganganku dalam memberi dan bersedekah.
Dia juga pernah berkata, “Sering-seringlah berkata ‘Ya’ untuk sebuah kebaikan. Dan katakanlah ‘Tidak’ untuk sebuah keburukan.” Kalimat itu juga menjadi penyemangatku untuk menolong orang yang butuh bantuan. Lebih tepatnya, karena itulah aku tidak bisa menolak.
Jadi, soal pertanyaan “Apakah sebungkus mie instan bisa membuat orang bahagia?” Jawabannya adalah ya. Tapi kali ini bukan karena aku. Tapi karena sekarang temanku Wahyu yang tadi kelaparan bisa mengisi perutnya yang kosong. Kuharap dia tidak meyebarkannya, karena jika tidak. Aku akan kehabisan mie instan dalam seminggu ini.
Hmmm .. kurasa, aku akan melanjutkan mengerjakan PR.
***
Ini kisah Wahyu.
“Akhirnya aku bisa makan. Reza baik banget, nanti akan kubalas kebaikkannya itu. Tapi untuk sekarang, makan dulu. Hehe...,“ gumam Wahyu bersiul.
Nampaknya, teman-teman Wahyu yang ada di dapur mendengar ocehanku.
“Oi Wahyu...,” panggil seorang teman.
“Ya, kenapa Fik?”
“Kamu..,” Dia menatap panci tempatku merebus mie. “Dapet mie darimana?”
“Owh itu..,” Aku tersenyum “Tentu saja dari teman baikku. Dia adalah seorang Raja Mie Instan.”
“Raja Mie Instan? Ooh ... Jadi dia punya banyak mie instan gitu?”
“Hmm.. iya mungkin, karena tiap kali aku minta, dia selalu memberiku.”
“Wah ..  Gak bisa dibiarkan nih. Kalau punya mie instan harusnya bagi-bagi dong.” Kata mereka sambil tersenyum jahat.
“Tapi kayaknya Reza belakangan ini lagi ngehemat mie lo. Jadi-“
“Owh, jadi itu si Reza ya..”
“Iya.. Reza baik betul, tapi kayaknya dia lagi ngehemat deh...,“
“Ok kawan kawan. Ayo kita minta bagi-bagi!” teriak mereka bergegas pergi.
Tok.. Tok.. Tok.., “Reza ... Bukain dong..,” teriak seseorang dari luar pintu.
Eh ... Tumben, ada yang manggil aku. Padahal biasanya mereka manggil Wahyu doang. Mungkin mereka mau ikutan ngerjain PR tadi siang. Yaudah bukain aja.
Aku membuka pintu dan ... “Reza!! Minta mie instan dong!!” teriak mereka serempak.
Aku terkejut, dan hanya terdiam di depan pintu. Mie instan? Ini pasti karena Wahyu. Kenapa dia selalu nyebarin informasi sih? Ya sudahlah lagi pula persediaanku masih banyak. Aku kembali masuk kedalam. Dan membawa keluar empat bungkus Mie instan. “Nih..,”
“Yeaay!!” teriak mereka. “Makasih banyak Raja Mie Instan.”
“Hah? Raja Mie Instan? Julukan macam apa itu? Darimana kalian dapat julukan itu?”
“Owh ... Itu tadi Wahyu yang bilang begitu. Dan Reza, kamu benar-benar seorang raja yang bijak. Saluuut pada Raja!.” kata mereka sambil pergi meninggalkanku yang terbengong-bengong.
Mereka tidak bermaksud buruk. Malahan mereka memujiku. Tapi tetap saja, rasanya seperti sebuah ejekan. Siapa sih yang mau dipanggil Raja Mie Instan?
***
“Salah..,” kataku pelan.
“Owh ya, harusnya 5 harakat yah??” aku mengangguk padanya.
Aku sedang membantu teman-temanku dalam menghafal surah-surah. Dalam kehidupan pesantren, menghafal surah-surah adalah sebuah kegiatan yang sangat lazim dilakakukan. Dan biasanya mereka selalu meminta bantuanku. Mungkin itu karena aku selalu menyetor hapalanku dengan cepat dan tepat waktu. Tidak seperti mereka yang perlu dimarahin dulu baru mau menghafal. Yah ... Bagiku sih, selama kau mau berusaha pasti bakalan hafal kok. Intinya hanya perlu mengulangnya terus-menerus.
***
Aku baru saja dari kantin setelah merebus mie instan untukku dan teman-temanku. Yah mau bagaimana lagi, mereka juga meminta untuk dimasakin sekalian. Lagipula memasak mie instan untuk banyak orang terbilang gampang, jadi biarlah sekalian.
Saat itu, aku sedang dalam perjalanan menuju kamarku. Tapi aku harus melewati lapangan terlebih dahulu, karena gedung asrama laki-laki berada diujung kiri pesantren dan kantin berada diujung kanan.
Yah rencana awalnya sih, aku pengen langsung tidur setelah memasak mie instan tadi. Tapi tiba-tiba saja aku dipanggil seseorang.
“Reza.. Oi Reza..,” Panggilnya dari tepi lapangan.
Dia adalah teman kelasku, dan tadi pagi dia kena hukum karena tidak mengerjakan PR. Jadi sekarang dia dihukum membersihkan lapangan. Lapangan sekolah kami sangat besar, dan membersihkan lapangan itu seorang diri adalah suatu hal yang sangat melelahkan dan pastinya memakan waktu sangat lama.
Biasanya akan ada tiga atau empat orang yang tidak mengerjakan PR. Jadi akan ada banyak orang yang bekerja untuk membersihkan lapangan. Tapi hari ini, hanya dia yang tidak mengerjakan PR. Yah, kesalahan sendiri sih, kenapa aku harus repot.
Aku hanya menoleh.
“Reza bantuin dong.” katanya memohon padaku.
Yah, dia adalah teman sekamarku, Wahyu. Tentu saja, orang normal pasti akan membiarkannya dan pergi meninggalkannya. Lagipula, hukuman ini akan membuatnya lebih sadar akan kesalahannya. Jadi tentu saja aku akan berkata, “Tidak!”
Aku memperhatikan lapangan yang akan dibersihkannya. Terlalu besar, dan hari ini aku juga udah capek. Tapi, menolong sedikit kan tidak masalah. Tapi apa itu akan membuatnya belajar dari kesalahan? Terkadang persoalan sepele seperi ini menjadi rumit ketika diselipi rasa kasihan. Pada akhirnya aku pun menghela napas dan memutuskan untuk meringankan bebannya.
“Baiklah, ayo cepat bersihkan. Aku akan membantumu.”
“Reza, Makasih banyak.“
“Sedikit...,” sambungku.
Pada akhirnya, aku membersihkan setengah lapangan. Dan setengahnya lagi Wahyu. Dan ini sama sekali tidak sedikit.
***
Sudah seminggu sejak aku dipanggil ‘Raja Mie Instan’. Teman-temanku di sini jadi semakin sering minta mie instan padaku. Akibatnya, persediaanku jadi benar-benar menipis. Tapi prinsip yang kupegang bukanlah prinsip yang salah. Jadi aku tidak akan menyesali semua perbuatan yang kulakukan. Lagipula, melihat mereka tersenyum karena sebungkus mie merupakan nilai tambah bagiku.
"Tok Tok Tok.." Aku mengabaikannya. "Tok Tok Tok.." Lagi, aku mengabaikannya. "Tok Tok Tok.." Aku punya pekerjaan yang lebih penting saat ini. Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin.
“Reza, pakunya lagi, tolong ...,” pinta Wahyu.
Ya tadi bukanlah suara ketukan pintu. Melainkan suara ketukan palu. Kami sedang membantu pak ustaz memperbaiki kursi dan meja yang rusak. Kemuadian aku memberi Wahyu segenggam paku.
“Ok makasih..”
Kami melanjutkan pekerjaan kami. Sebenarnya, kami tidak disuruh melakukan ini. Tadi pak ustaz hanya bertanya, apakah ada yang ingin membantu bapak memperbaiki meja dan kursi yang rusak. tepat sebelum pelajaran hampir berakhir. Saat itu aku langsung mengangkat tangan paling tinggi dari siapapun. Lebih tepatnya, hanya aku yang mengangkat tangan. Padahal kukira bakalan ada banyak orang yang akan mengangkat tangannya. Dan ternyata aku memang benar, setelah aku mengangkat tangan. Semua orang dikelas perlahan tapi pasti juga ikut mengangkat tangannya. Bapak bahkan sempat terkejut, dia sangat bangga pada santri-santrinya yang memiliki jiwa penolong.
Belum sampai dua jam. Kami telah menyelesaikan perbaikannya. Rasanya sungguh cepat. Padahal tadi pekerjaanya ada sangat banyak. Pasti ini yang namanya ‘Berat sama Dijinjing, Ringan sama Dipikul.’
Setelah kami menyelesaikan pekerjaan, ternyata bapak memberi kami sebuah hadiah. Yah, meskipun hadiahnya bukan dalam bentuk fisik maupun materi. Tapi hadiah itu benar benar membuat kami senang. Pak Ustad bilang, dia akan membantu menambah nilai kami semua.
Mungkin itu terdengar sederhana. Tapi bagi kami santri pesantren di sini, hal itu sangatlah berarti.
***
Hari ini, akhirnya persediaan mie instanku habis. Parahnya, uangku juga benar benar tipis. Kurasa, sudah saatnya aku yang meminta bantuan. Semoga mereka mau membantuku.
“Wahyu ... aku butuh uang.”
“Akh ... Tumben. Ok tunggu bentar.” Wahyu menggeledah kantong dan dompetnya. “Rasanya aku ada uang tadi.” gumamnya pelan.
Sudah kuduga, Wahyu itu selalu minta mie instan dariku, karena dia sendiri gak punya uang.
“Enggak usah deh, enggak jadi..”
“Heeh.. bentar-bentar.. rasanya aku tadi ada uang..”
“Gak usah. Oh ya, kalau mau makan di kantin gratis, harus ngapain?”
“Akh ... Kamu mau makan di kantin? Kesambet apa kamu Zaa..? Bentar aku bakal panggil pak ustadz buat ngeruqyah kamu dulu.. Tunggu ya..,” Dia bergerak menuju pintu.
“Oii ... Aku cuman kehabisan mie instan. Mangkanya aku mau makan di kantin.”
“Heh ...  Raja Mie kehabisan mie..?” Wahyu keliatan terkejut dan enggak percaya.
“Stop. Bisa nggak berhenti memanggilku dengan sebutan itu!”
“Maaf.. maaf ... Tapi, iya juga ya. Akhir-akhir ini banyak orang yang minta mie instan ke kamu.”
Memangnya itu salah siapa.
  “Jadi gimana caranya makan di kantin gratis?” tanyaku kembali ke Wahyu.
“Susah ngejelaskannya. Udah, yuk ke sana aja langsung” Ajaknya padaku.
Dia memperkenalkanku dengan staf-staf di dapur. Tapi bukan staf profesional seperti pegawai atau guru, melainkan Siswa siswa pesantren itu sendiri. Dan ternyata, ada begitu banyak perempuan disini. Di pesantrenku, bertemu dengan perempuan itu sangatlah langka, terutama karena letak antara asrama laki-laki dan perempuan itu berjauhan.
Setelah berbincang sebentar, mereka memahami situasiku dan mulai menugaskanku untuk mencuci piring. Tapi mencuci piring tidaklah lama. Dan karena aku merasa seperti kerjaku masih kurang, atau kurang sepadan dengan imbalan yang akan kudapat. Yaitu sepiring makanan. Aku memutuskan untuk membantu menyapu dan sekalian mengepel di halaman pesantren.
Hari demi hari berlalu semenjak aku mulai ikut bantu-bantu di kantin. Tanpa kusadari selama ini semua orang memperhatikanku. Dan ternyata mereka sangat peduli padaku.
“Nih ... ada beberapa sisa makanan di dapur. Kalau mau, ambil aja buat kamu makan nanti.” kata seorang santri perempuan sambil memberi sebuah kotak bekal makanan padaku.
“Eh.. Benarkah!? Aku boleh menerimanya?” tanyaku antusias.
“Ya, lagipula, Gak ada yang bakal protes kalau kamu yang ambil.” katanya sambil melihat orang-orang dikantin itu.
Aku menoleh, dan memperhatikan sekelilingku. Mereka semua menatapku dengan penuh senyuman dan rasa persetujuan.
“Ah. Kalau gitu, akan kuambil. Terima kasih.” Aku benar-benar tak menyangka, ini adalah pertama kalinya aku merasa sesenang ini dalam hidupku.
Setelah itu, berita tentang Raja Mie Instan yang kehabisan mie menyebar ke seluruh pesantren, tanpa kuduga aku yang awalnya mengira akan kesulitan mendapat makanan, malah mendapat kelebihan makanan. Teman-teman pesantren mulai menyumbangkan makanan mereka untukku. Hingga akhirnya, aku punya begitu banyak makanan.
Dan begitulah. Kukira, hari ini akan berakhir dengan Happy Ending dengan penuh makanan. Tapi ...
Seketika semuanya menjadi gelap. Bahkan aku tidak ingat apa yang terjadi padaku tadi.
Aku terbangun di ruangan putih dengan lampu yang sangat terang. Rumah sakit? itulah yang pertama kali terlintas dipikiranku. Kenapa? Apa yang terjadi? Hal terakhir yang kuiingat adalah ... aku sedang kembali ke kamarku. Kemudian semuanya menjadi gelap. Ah, kurasa penyakitku kambuh lagi.
Sepi, bahkan aku tidak melihat ada orang tuaku. Ini mengingatkanku dengan kejadian sewaktu SMP dulu. Aku pernah dirawat di rumah sakit. Dan selain keluargaku, hanya ada satu orang temanku yang datang menjengukku. Dia adalah orang yang juga menjadi inspirasiku selama ini. Farhan.
Sebenarnya, selama ini aku menderita tumor perut yang ganas. Dan yang mengetahui kondisiku hanyalah keluargaku dan sohibku Farhan. Tumor ini sebenarnya bisa diangkat, tapi butuh biaya yang sangat besar. Karena keterbatasan biaya dan karena keluargaku merupakan keluarga yang kurang mampu. Penyakit ini dibiarkan sampai sekarang. Aku tahu orang tuaku telah berusaha mati-matian untuk membiayai pengobatanku ini. Tapi total harganya masih terlalu jauh.
Sebenarnya mereka tidak ingin aku pergi ke pesantren karena alasan ini. Tapi aku bersikeras dan akhirnya aku berhasil masuk. Tapi, lagi.. dan lagi ... Aku merepotkan kedua orangtuaku. Aku adalah anak nakal. Yang hanya bisa merepotkan kedua orang tuaku. Kuharap penyakit ini bisa sembuh. Aku tidak ingin membuat mereka lebih menderita lagi karena diriku.
“Assalamualaikum.” kata seseorang pelan seraya membuka pintu.
“Waalaikumsalam.” jawabku.
Akh, Ayah dan Ibu.. Bagaimana aku harus menyambut mereka.
“Ayah.. Ibu..,” Kataku pelan.
“Reza. Kamu gapapa, Nak?” teriak ibuku sedih sambil datang menghampiriku.
“Ah Ibu ... Maafkan aku. Lagi lagi aku merepotkan kalian.“
“Enggak Nak.. Kami sangat bersyukur tidak terjadi apa-apa padamu.”
“Iya, Ibumu benar. Kamu adalah kebanggan kami.” sambung ayah.
“Tapi karena tumorku ini, kalian berjuang mati-matian untuk biaya pengobatanku.“
Mendengar kata-kataku, Ayah dan Ibu tersenyum ke arahku.
“Alhamdulillah nak.. Tumormu sudah di angkat.” Kata Ibu terharu.
“Eh? Apa maksudnya.. Aku masih belum mengerti.”
“Coba kau tanyakan kepada teman-temanmu itu.” kata Ayah sambil menunjuk ke arah pintu.
“Wahyu? Teman-teman..?”
“Syukurlah kamu sudah sadar Reza.” Kata Wahyu tersenyum. “Ketika kamu pingsan saat itu, semua orang langsung panik dan segera membawamu kerumah sakit. Dan kemudian dokter bilang kamu terkena Tumor perut yang ganas, dan butuh biaya yang sangat mahal untuk mengangkatnya. Jadi setelah kami berdikusi sebentar, kami memutuskan untuk membuat sumbangan untuk operasi pengangkatan tumormu.” Sambungnya.
“Jadi karena kalian, aku sekarang bisa sembuh?”
“Bukan, Reza. Kamu bisa sembuh karena dirimu sendiri. Kaulah yang telah menggerakkan hati kami. Harusnya kau melihat mereka berbondong-bondong menyumbangkan uang untukmu. Bahkan pesantren kita mendapat bantuan dari sekolah-sekolah lain. Dan jangan terkejut ya, Perusahaan mie instan menyumbangkan begitu banyak uang untukmu. Kata mereka kau telah menjadi simbol perusahaan mie instan, yaitu seorang Raja Mie Instan.”
“Tapi jangan sering-sering makan mie lho ya… “ sambung Ustaz Hilal menyambung percakapan kami. “Segala sesuatu yang berlebihan pastilah tidak baik, Allah berfirman dalam surat Al A’raf ayat 31, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan.”
Ah … syukurlah, Farhan, Wahyu, para ustaz dan sahabat-sahabatku di pesantren ternyata sangat perhatian dan rela berpatungan untuk membiayai operasiku bahkan mencarikan donator segala.
Akan kuulangi sekali lagi.
Memberi tidak akan membuat kita menjadi miskin. Melainkan tabungan untuk masa depan kita. Semua kebaikan akan berbalas manis. Tapi kalau tidak iklhas dan bersyukur, maka percuma saja. Katakan “Ya” untuk sebuah kebaikan, dan katakan “Tidak” untuk sebuah keburukan. Niscaya, hal hal baik akan mendatangimu dan hal-hal buruk akan menjauhimu.
Sekarang aku benar-benar percaya dengan kata-katamu itu. Farhan. Walaupun kau sudah tiada tapi semangatmu akan tetapku jaga. Terima kasih untuk semuanya.
TAMAT~

Sebuah cerpen yang terinspirasi dari sebungkus mie instan. Bukannya bermaksud untuk promosi, tapi cerpen ini dibuat untuk bisa diambil hikmah yang terkandung di dalam-nya. Penulis berharap pembaca bisa lebih termotivasi untuk bersedekah karena dengan sedekah tidak membuat kita menjadi semakin miskin tapi justru akan membuat kita semakin kaya, kuncinya asalkan kita mau bersyukur. Bahwa dari hal kecil bisa menjadi berarti sangat besar. Yaitu dengan mengajarkan sebuah makna dari berbagi sebungkus mie ke dalam cerita ini.


Biodata Penulis



Penulis adalah seorang lelaki yang lahir enam belas tahun silam tepatnya 20 Oktober 2001 di sebuah desa terpencil bernama Penyinggahan. Bercita-cita menjadi seorang pembuat film dan jurnalis. Erik, begitu orang mamanggilnya. Lengkapnya Erik Aditya Ananta. Penulis memiliki hobi membaca yang terus ditekuninya hampir setiap saat. Saat ini bersekolah di MAN 2 Kukar.
Penulis juga memiliki moto dalam hidupnya yaitu "Jika ingin melakukan sesuatu lakukanlah dengan cepat, jika tidak ingin maka lebih baik tidak usah dikerjakan sama sekali". Penulis tinggal di kota Tenggarong tepatnya di Jalan Kartini No. 35 RT. 56. Tapi jika ingin menghubunginya atau memberi kritik dan saran bisa lewat account line dengan id:ericksbt atau email: erikstyle50@gmail.com. Atau wa ke nomor hp: 0894348666814.

7 komentar: